![]() |
source: (click here) |
Garuda Pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot proklamasi
Sedia berkorban untukmu
Pancasila dasar negara
Rakyat adil makmur sentosa
Pribadi bangsaku
Ayo maju maju, ayo maju maju, ayo maju
maju
Ingatkah Anda
dengan lagu di atas? Lagu yang berjudul “Garuda Pancasila” tersebut adalah
salah satu lagu wajib nasional yang diciptakan oleh Sudharnoto. Sedari kecil,
saya telah diperkenalkan dengan lagu tersebut, bahkan pada saat itu saya belum
menjajaki dunia pendidikan formal. Mendengar kata “Pancasila” dan melagukannya
membuat saya menjadi
penasaran akan apa itu Pancasila. Seiring berjalannya waktu, hingga akhirnya
saya dikenalkan dengan Pancasila oleh guru di Sekolah Dasar.
Ternyata Pancasila adalah lima asas yang menjadi
dasar negara dimana saya dilahirkan dan dibesarkan, yakni negara Indonesia.
Dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat, keberadaan Pancasila semakin lama semakin memudar. Salah satu penyebab memudarnya Pancasila di kalangan
masyarakat adalah era globalisasi. Perkembangan zaman turut serta “merubah”
kualitas generasi muda sehingga perkembangan teknologi yang pesat dan
akulturasi antar negara mengakibatkan generasi muda mulai melupakan Pancasila.
Meskipun saya belum pernah terjun langsung ke lapangan guna menanyakan secara
langsung kepada masyarakat tentang Pancasila, namun beberapa tayangan televisi
dan rekaman video wawancara kepada masyarakat telah sedikit menggambarkan bahwa
banyak masyarakat yang tidak tahu tentang Pancasila. Sebagian besar dari mereka
mendadak lupa terhadap
tiap-tiap sila Pancasila ataupun lupa dengan urutan dari Pancasila itu sendiri,
baik dikalangan masyarakat umum ataupun dikalangan
kaum pelajar, sunggu ironis sekali. Menyadari akan hal
tersebut, saya berefleksi tentang sejauh mana saya memaknai Pancasila, seberapa
penting Pancasila dalam kehidupan saya, dan sejauh apa saya mengamalkan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari.
Hal yang saya
ingat saat belajar tentang Pancasila di sekolah adalah mengenai Pancasila
sebagai ideologi negara. Menurut Purwanto dkk (2008), pengertian ideologi secara
etimologis adalah gagasan atau ilmu
yang mempelajari tentang gagasan. Gagasan yang dimaksud adalah gagasan yang
murni ada dan menjadi landasan atau pedoman dalam kehidupan masyarakat di
wilayah negara dimana mereka berada. Dengan berdasarkan pengertian tersebut, Pancasila yang sampai
saat ini kita jadikan pedoman dalam menjalani kehidupan di negara Indonesia
merupakan ideologi negara Indonesia.
Dalam sebuah literatur, Wahyudi (2004)
menyatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi merupakan kenyataan yang tak bisa
ditolak. Menolak Pancasila sebagai ideologi adalah hal yang tidak masuk akal.
Masih dalam literatur yang sama, Gauthier juga menyatakan bahwa ideologi
penting dan merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak karena dalam setiap
masyarakat selalu diharapkan tersedia keberadaan sebuah struktur bersama yang
terbentuk dari idea-idea. Memaknai Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia
yang sangat penting, menjadikan saya patuh terhadap nilai-nilai yang dikandung
Pancasila.
Selain itu,
memaknai Pancasila sebagai idologi negara juga menjadikan Pancasila sebagai
alat pemersatu bangsa. Sampai saat ini,
Pancasila masih dipandang cocok dalam mempersatukan Indonesia yang terdiri dari berbagai
suku, agama, ras, dan budaya yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.
Pancasila merupakan tali pengikat dan pemersatu bangsa ini. Namun, semudah
itukah Pancasila menyatukan bangsa
Indonesia? Menurut Oentoro (2010), perlu disadari bahwa bangsa semajemuk
Indonesia hanya bisa tetap bersatu apabila semua komponen negara Indonesia mau bersatu.
Tak mungkin mempertahankan persatuan bangsa dengan paksaan. Tetapi, semua komponen hanya
akan mau bersatu apabila identitas mereka dihormati dalam Indonesia yang satu
itu. Orang tidak perlu melepaskan kekhasan agamanya, budayanya, dan kesukuannya untuk
menjadi orang Indonesia. Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika – berbeda-beda
tetapi tetap satu jua.
Melihat
Pancasila dari perspektif “keberadaannya” dalam kehidupan sehari-hari sangatlah
penting, namun apabila ditinjau dari perspektif lain seperti “urutan” sila-sila
Pancasila, hal itu juga sangat penting. Singkatnya, urutan-urutan sila ke-1
sampai ke-5 merupakan suatu urutan yang sudah sangat dipikirkan dan
dipertimbangkan oleh para founding
fathers. Sebagai contoh adalah sila
ke-1 yang berbunyi “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Mengapa konsep “ketuhanan” ini dijadikan nomor 1? Asumsi saya
adalah karena Tuhan merupakan sumber dari segala sumber. Atas berkat rahmat dan
kasih-Nya,
kita semua diberikan kesempatan untuk hidup di dunia ini dan saling
berinteraksi dalam sebuah daerah
di bumi ini – Indonesia. Dengan demikian sangatlah tepat
untuk menempatkan konsep “Ketuhanan” sebagai sila ke-1 diatas semua sila.
Melihat kepada
sila-sila lain, terdapat tanda tanya
besar dalam benak saya yang muncul seperti mengapa sila
“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” ditempatkan pada sila ke-2, sedangakan sila “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” ditempatkan pada sila ke-5? Bukankah bunyi sila ke-2
dan sila ke-5 tersebut
sama-sama berkonsepkan
“adil” ? Setelah membandingkan butir-butir Pancasila yang dikandung sila ke-2
dan sila ke-5, hal yang membedakan kedua sila tersebut adalah pada sila ke-2
berisi mengenai adil terhadap orang lain, sedangkan sila ke-5 adalah adil
terhadap diri sendiri. Dengan demikian, konsep adil terhadap orang lain lebih
diutamakan dan dijadikan sila ke-2 dibandingkan konsep adil terhadap diri
sendiri yang ditempatkan di sila ke-5.
Lalu bagaimana
dengan sila “Persatuan Indonesia” dan sila “Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”? Mengapa sila-sila
tersebut lebih diposisikan sebagai sila ke-3 dan ke-4 dibandingkan dengan sila ke-5?
Dengan alasan yang sama, bahwa konsep
“persatuan” dan “kerakyatan” lebih diutamakan dibandingkan dengan konsep “adil”
terhadap diri sendiri. Singkatnya, Pancasila mengutamakan hak dan kepentingan bersama dibandingkan dengan
hak dan kepentingan pribadi.
Implementasi Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat sangat penting dilakukan agar setiap individu dapat
berfikir dan bertindak sesuai dengan etika yang bersumber dari Pancasila sebagai ideologi negara
Indonesia. Pancasila sebagai ideologi negara juga bermakna bahwa tiap warga
negara dalam kehidupan sehari-hari menggunakan Pancasila sebagai pedoman dan
petunjuk hidup. Pemahaman implementasi Pancasila diharapkan dapat menciptakan
keharmonisan dan keserasian di lingkungan masyarakat Indonesia.
Pedoman-pedoman
hidup dalam pengimplementasian Pancasila adalah butir-butir Pancasila yang
tercakup dalam kelima sila. Pada awalnya, Pancasila yang dilahirkan pada
tanggal 1 Juni 1945 dan disahkan sebagai dasar negara secara yuridis pada
tanggal 18 Agustus 1945 hanya terdiri dari 36 butir sesuai dengan Ketetapan MPR
no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancasila. Namun, ketetapan tersebut
dicabut oleh Ketetapan MPR
no. I/MPR/2003 dengan perubahan menjadi 45
butir Pancasila yang tercakup dalam kelima sila. Pembahasan mengenai butir-butir pancasila adalah sebagai berikut.
Pertama
adalah sila ke-1 yang berbunyi “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Sila ini dilambangkan
dengan bintang berwarna kuning dengan latar belakang warna hitam dan terdiri dari 7 butir. Terdapat butir-butir yang
memiliki redaksi kalimat yang serupa seperti butir pertama dan kedua. Butir
pertama berbunyi “Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya
terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” sedangkan butir kedua berbunyi “Manusia
Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.” Hal serupa terjadi pada butir ketiga dan keenam. Butir ketiga
berbunyi “Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk
agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha
Esa,” sedangkan butir keenam berbunyi “Mengembangkan sikap saling menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.” Kemiripan redaksi kalimat antar butir ini tentu saja
menjadi tanda tanya besar dalam benak saya mengenai hal apa yang
melatarbelakangi kemiripan tersebut. Apakah hal tersebut hanyalah “penggandaan”
yang dilakukan karena pada Ekaprasetia Pancasila hanya terdapat 4 butir dan kini berubah menjadi 7
butir? Namun apa makna dibalik penggandaan tersebut? Dari
ketujuh butir yang tercakup dalam sila ke-1, saya telah memenuhi dan
menjalankan semua butir. Di mulai dari memiliki kepercayaan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, saling menghormati antar pemeluk agama, membina
kerukunan, menghargai pemeluk agama lain saat beribadah, dan juga tak pernah
memaksakan orang lain untuk memeluk agama yang saya anut. Dengan demikian,
dapat saya simpulkan bahwa saya telah mememuhi atau mengamalkan butir-butir
Pancasila, sila ke-1.
Kemudian
sila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab” dilambangkan dengan rantai berwarna kuning dengan latar belakang warna
merah terdiri dari 10 butir. Dari
kesepuluh butir tersebut, saya pernah
memenuhi atau mengamalkan semua butir. Namun,
seringkali di suatu kondisi saya melanggar atau tidak mengamalkan butir-butir
tersebut. Sebagai contoh adalah butir ketiga yang berbunyi “Mengembangkan
sikap saling mencintai sesama manusia.”
Seringkali saya mencintai sesama manusia, namun adakalanya ketika saya memiliki
masalah pribadi dengan seseorang, timbul rasa benci terhadap dirinya. Dengan
kata lain, saya telah kehilangan rasa mencintai sesama manusia, dan hal
tersebut berarti saya telah melanggar butir ketiga sila ke-2. Selain itu, butir
kedelapan yang berbunyi “Berani membela
kebenaran dan keadilan” terkadang
sulit untuk dilakukan karena terbentur dengan posisi. Sebagai contoh ketika ada
pihak keluarga yang memiliki masalah dengan tetangga, terkadang sulit sekali
memposisikan diri sebagai pihak ketiga atau pihak netral. Seringkali saya
memposisikan diri sebagai pembela dari keluarga sendiri baik ketika keluarga
saya yang memang benar-benar tidak bersalah maupun ketika keluarga saya yang
memang benar-benar melakukan kesalahan. Dengan demikian dapat saya simpulkan
bahwa saya telah mengamalkan butir-butir sila ke-2, namun tidak sepenuhnya
terlaksana.
Lalu
sila ke-tiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia” dilambangkan dengan pohon beringin
berdaun hijau dan berkayu cokelat dengan latar belakang berwarna putih terdiri
dari 7 butir. Dari ketujuh butir tersebut, saya meiliki tanda tanya besar
tentang butir kedua. Butir kedua sila ke-3 yang berbunyi “Sanggup dan rela
berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.” Dengan redaksi kalimat seperti itu, saya
mengasumsikan bahwa saya harus melakukan suatu kegiatan internasional yang
mengatas namakan Indonesia. Contohnya seperti mengikuti olimpiade matematika
tingkat internasional. Dengan menjadi atlet olimpiade, maka saya harus sanggup
dan rela berkorban untuk kepentingan negara Indonesia. Benarkah ilustrasi yang saya berikan? Selain
itu, saya juga memiliki tanda tanya besar pada butir kelima sila ke-3 yang
berbunyi “Memelihara ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Hal apakah yang harus saya lakukan untuk memelihara
ketertiban tersebut? Apakah dengan tidak mengikuti tawuran atau tidak mengikuti
peperangan telah mengindikasikan pengalaman terhadap butir ini? Dengan
demikian, dapat saya simpulkan bahwa saya telah mengamalkan butir-butir sila
ke-3, namun tidak sepenuhnya terlaksana.
Selanjutnya
adalah sila ke-4 yang berbunyi “Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.” Sila ini dilambangkan dengan kepala banteng
berwarna hitam bercorak putih dengan latar belakang berwarna merah dan terdiri
dari 10 butir. Dari kesepuluh butir tersebut, terdapat beberapa butir yang tidak
saya amalkan atau jalankan dengan baik. Butir kedua yang berbunyi “Tidak boleh memaksakan
kehendak kepada orang lain” adalah
butir yang paling sering saya langgar. Ketika saya mengenyam pendidikan di
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), seringkali saya
ditunjuk sebagai ketua kelompok. Dalam diskusi penyelesaiaan tugas, seringkali
saya dan kelompok memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda. Lalu, sebagai
ketu kelompok saya seringkali merasa bahwa pendapat saya jauh lebih masuk akal
dibanding pendapat anggota-anggota lain, sehingga saya sering memaksakan
kehendak saya agar dapat diterima dan dilaksanakan. Selanjutnya adalah butir
keenam sila ke-4 yang berbunyi “Dengan
iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah.” Berhubungan dengan butir
tersebut, seringkali saya merasa beriktikad buruk apabila hasil keputusan
musyawarah tidak sejalan dengan ide atau pendapat pribadi. Saya dapat menerima
keputusan tersebut, namun tidak saya sambut dengan senang hati, tetapi sering
diiringi rasa kesal dan marah. Dengan demikian, dapat saya simpulkan bahwa saya
telah mengamalkan butir-butir sila ke-4, namun tidak sepenuhnya terlaksana.
Terakhir
adalah sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Sila ini dilambangkan dengan padi berwarna kuning dan kapas berwarna putih
berkelopak hijau dengan latar belakang warna putih dan terdiri dari 11 butir.
Dari kesebelas butir tersebut, saya memiliki tanda tanya besar untuk butir
kesebelas yang berbunyi “Suka melakukan kegiatan
dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.” Kegiatan apakah yang harus saya lakukan
untukmewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial? Apakah dengan
menjadi voluntir mengajar di sekolah-sekolah non-formal termasuk dalam
mengamalkan butir kesebelas ini? Sebagai contoh adalah ketika saya mengajar di
Rumah Harapan (sebuah sekolah non-formal yang mengadakan kegiatan belajar
setiap Sabtu dan Minggu sore yang belokasi di Duren Sawit, Jakarta Timur)
mengindikasikan bahwa saya telah berhasil mengamalkan butir Pancasila tersebut?
Lalu, bagaimana apabila saya sudah tidak lagi menjadi voluntir di sana? Apakah
hal tersebut berarti saya tidak memenuhi atau tidak mengamalkan butir tersebut?
Dengan demikian, dapat saya simpulkan bahwa saya telah mengamalkan butir-butir
sila ke-5, namun tidak sepenuhnya terlaksana.
Dari keseluruhan butir-butir
Pancasila yang tercakup dalam lima sila, saya meyakinkan diri saya bahwa saya
sudah cukup melakukan atau mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Saya telah
berpegang teguh atau berpedoman terhadap Pancasila dalam menjalani aktivitas di
kehidupan sehari-hari. Untuk lebih lanjut lagi, sebagai calon pendidik masa
depan, saya harus meningkatkan kualitas pengamalan nilai-nilai Pancasila agar
saya dapat menjadi contoh atau model bagi murid-murid saya nantinya. Juga,
sebagai warga negara Indonsia yang baik, saya harus benar-benar berpedoman pada
Pancasila dan mengamalkan nilai-nilai yang dikandungnya agar menjadi
bermasyarakat yang lebih baik sesuai dengan cita-cita para leluhur bangsa
Indonesia. Itulah ulasan saya mengenai “Seberapa Pancasila-kah Saya?” Bagaimana
dengan kehidupan Anda? Bagaimana Anda memaknai Pancasila? Seberapa pentingkah
Pancasila di kehidupan Anda? Bagaimana Anda menerapkan nilai-nilai Pancasila? Lalu,
seberapa Pancasila-kah Anda?
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila
Oentoro. B. J. (2010). INDONESIA SATU, INDONESIA BEDA, INDONESIA
BISA: MEMBANGUN BHINEKA TUNGGAL IKA DI BUMI NUSANTARA. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Purwanto, dkk. (2008). Etika Berwarga Negara. Pendidikan Kewarganegaraan
di Perguruan Tinggi. Edisi ke-2. Jakarta: Salemba Empat. Diakses dari
http://books.google.co.id/books?id=mFhDVYWB7zIC&pg=PA22&dq=definisi+ideologi&hl=en&sa=X&ei=P5uLUfu8JcnlrAfv_4GwBQ&ved=0CCsQ6AEwAA#v=onepage&q=definisi%20ideologi&f=false
Wahyudi. A. (2004). Ideologi Pancasila: Doktrin yang Komprehensif atau Konseptual Politis?