oleh: Ahmad Apriyanto
Minggu, 22 Juli 2012
Setuju kah
anda bahwa pekerjaan seorang guru adalah mengajar di kelas? Namun itu hanya
salah satu pekerjaannya bukan? Bagaimana dengan belajar? Pastinya seorang guru
juga harus tetap belajar agar kualitas materi yang ia sampaikan kepada para
siswa tetap up-to-date. Juga, untuk menjawab tantangan-tantangan yang
ada di dunia pendidikan dalam Era Globalisasi seperti sekarang ini.
Sebagai seorang calon Sarjana
Pendidikan, saya memiliki beberapa pengalaman dalam mengajar dan belajar. Diawali
saat saya dimintai tolong untuk mengajar teman
sebaya, menggantikan mengajar guru SMA saya yang izin selama sebulan, dimintai tolong mengajar
anak tetangga, coba-coba untuk bergabung dalam sebuah lembaga Les Privat, hingga mengikuti program teaching experience yang diwajibkan oleh pihak kampus, dan masih banyak lagi.
Pengalaman untuk mengajar teman
sebaya telah saya rasakan sejak SD hingga saat ini – kuliah tingkat tiga
universitas. Sejak SD saya senang sekali belajar kelompok karena selain belajar
saya juga bisa bercanda, tertawa, sehingga membuat suasana menjadi tidak sepi
dan senyap (walaupun terkadang saya suka untuk belajar sendirian di tempat yang
sepi dan senyap). Hingga saya duduk di SMP, kebiasaan belajar kelompok pun
tetap saya lakukan. Teman-teman menganggap saya sebagai salah satu sumber
belajar karena mereka menilai saya sebagai siswa yang mau berbagi ilmu
pengetahuan dengan siapapun.
Mendekati masa-masa Ujian Nasional
SMP, pihak sekolah memiliki program yang disebut “tutor sebaya”. Program
tersebut sama saja dengan belajar kelompok, namun lebih intensif selama satu
bulan. Terlebih, kelompok belajar ini terdiri dari siswa siswi yang berbeda
kelas, sehingga rasa kebersamaan sangatlah dijunjung tinggi. Saya terpilih
sebagai tutor. Betapa “berat” rasa tanggung jawab yang saya emban, dimana saya
harus menyiapkan diri untuk UN dan juga membantu teman-teman agar lebih siap
menuju UN. Pelajaran yang dapat saya ambil adalah bertanggung jawab atas orang
lain. Kapan pun mereka membutuhkan saya, saya harus siap untuk berada disamping
mereka.
Kemudian, pengalaman mengajar saya
berlanjut di SMA. Pertama kali saya merasakan menjadi seorang “guru kelas” adalah ketika
saya dan beberapa teman harus menggantikan guru matematika. Beliau izin selama
sebulan, lalu memberikan kepercayaan kepada kami bertiga untuk menggantikannya
mengajar dua materi sekaligus; Matriks dan Program Linear. Saat itu, beliau mengajar lima kelas parallel. Dengan demikian, tiap kelas
terdapat perwakilan yang terdiri dari dua sampai tiga orang
murid untuk menggantikan beliau untuk
mengajar.
Sebelum
beliau berangkat, kami semua berkumpul untuk mendiskusikan berbagai hal. Beliau
berpesan kepada kami semua (perwakilan lima kelas) untuk berkoordinasi dalam memberikan materi agar kelima
kelas mendapatkan pengajaran yang seimbang. Dalam menyiapkan materi, kami semua sepakat membuat timeline ; untuk pertemuan ke-sekian belajar ini, pertemuan
ke-sekian belajar itu. Sedangkan, untuk soal ulangan kami semua berkesepakatan bahwa
sebaiknya soal-soal yang dibuat kelas A harus ditukar ke kelas B, soal kelas B ditukar ke kelas C, dan sebagainya.
Hanya dengan bermodalkan belajar sendiri, tanpa mengerti teknik mengajar, classroom management, lesson plan, dan assessment, saya dan rekan-rekan dengan penuh percaya diri menjalankan tugas mengajar dan memberikan soal-soal ulangan dan kuis kepada teman-teman. Permasalahan yang saya hadapi saat itu adalah mengenai assessment. Ketika saya harus membuat soal-soal ulangan untuk kelas lain, sedangkan saya tidak tahu seberapa dalam konten yang diberikan oleh perwakilan kelas tersebut dalam mengajar. Akhirnya saya mendapatkan penjelasan mengenai konten yang diajarkan oleh perwakilan pengajar kelas tersebut, dan dengan keyakinan tinggi saya membuat soal-soal untuk kelas tersebut.
Sangat disayangkan, beberapa kritikan berdatangan mengenai soal yang saya buat. Ada yang bilang soalnya simple, tapi muter-muter, dan masih banyak lagi. Namun, dengan mengingat kemampuan pribadi, saya terima kritikan-kritikan tersebut dengan kepala dingin. Dengan demikian beberapa hal itulah yang menjadi pelajaran pertama untuk saya, lebih pertimbangkan materi dan soal untuk assessment, sehingga tujuan dari pengajaran dapat terukur dari assessment yang dibuat.
Hanya dengan bermodalkan belajar sendiri, tanpa mengerti teknik mengajar, classroom management, lesson plan, dan assessment, saya dan rekan-rekan dengan penuh percaya diri menjalankan tugas mengajar dan memberikan soal-soal ulangan dan kuis kepada teman-teman. Permasalahan yang saya hadapi saat itu adalah mengenai assessment. Ketika saya harus membuat soal-soal ulangan untuk kelas lain, sedangkan saya tidak tahu seberapa dalam konten yang diberikan oleh perwakilan kelas tersebut dalam mengajar. Akhirnya saya mendapatkan penjelasan mengenai konten yang diajarkan oleh perwakilan pengajar kelas tersebut, dan dengan keyakinan tinggi saya membuat soal-soal untuk kelas tersebut.
Sangat disayangkan, beberapa kritikan berdatangan mengenai soal yang saya buat. Ada yang bilang soalnya simple, tapi muter-muter, dan masih banyak lagi. Namun, dengan mengingat kemampuan pribadi, saya terima kritikan-kritikan tersebut dengan kepala dingin. Dengan demikian beberapa hal itulah yang menjadi pelajaran pertama untuk saya, lebih pertimbangkan materi dan soal untuk assessment, sehingga tujuan dari pengajaran dapat terukur dari assessment yang dibuat.
Pengalaman
mengajar berikutnya adalah ketika saya diminta untuk menjadi guru les privat
tetangga saya yang masih duduk dibangku SD. Sedikit berbeda dengan mengajar di
sekolah dengan jumlah murid 40 siswa, mengajar les privat hanya seorang siswa.
Tidak dibutuhkan keahlian dalam classroom management, tetapi sangat
dibutuhkan kreativitasan agar seorang siswa tersebut tetap fokus pada
pembelajaran yang dilakukan. Siswa saya tersebut kelas IV SD, sama seperti
kebanyakan anak SD lain, ia sangat suka bercerita. Pembelajaran menjadi sulit
ketika ia terus saja bercerita hal-hal yang menurutnya menakjubkan.
Suatu ketika,
ia menceritakan bahwa suatu malam ia melihat bulan berbentuk bulat. Namun ia
terheran-heran ketika suatu malam yang lain ia melihat bulan hanya setengah,
bahkan ia pernah melihat bulan yang hanya terlihat seperti kue salju yang
banyak dijumpai saat lebaran (yang ia maksud bulan sabit). Lalu dengan antusias
ia menanyakan hal tersebut kepada saya. Saya terdiam sejenak, akhirnya saya
coba menjelaskan dengan bahasa yang sederhana bahwa bulan berotasi, bumi
berotasi, namun sepertinya ia hanya geleng-geleng kepala. Saya sempat
kebingungan bagaimana menjawab pertanyaan tersebut. Akhirnya saya hanya
menjanjikan ia untuk menjawab keheranan yang ia rasakan pada pertemuan
berikutnya.
Saya mencoba
untuk mengakses situs yang menyediakan berjuta-juta video, dan saya pilih
beberapa video yang menurut saya mudah dipahami. Lalu saya siapkan senter dan
beberapa bola kecil untuk melakukan simulasi rotasi dan revolusi benda-benda
langit. Dengan keyakinan tinggi, dipertemuan berikutnya saya mengajaknya
menonton video-video yang telah saya unduh, dan melakukan simulasi-simulasi
seperti yang sudah saya rancang. Terbersit rasa puas dalam hati saya ketika
melihat reaksi positif yang diperlihatkan oleh murid saya ini.
Sebelumnya
saya sempat bertanya-tanya mengenai hal yang saya lakukan ini merupakan
tindakan yang tepat atau tidak. Sebagai seorang guru les privat, bukankah tugas
saya melakukan review pengajaran terhadap materi-materi yang telah ia dapatkan disekolah
dan menyiapkan materi-materi yang akan ia pelajari esok hari? Apakah mengajak
ia menonton video dan melakukan simulasi merupakan tindakan yang tepat,
mengingat bahwa materi Tata Surya belum ia dapatkan saat itu? Setelah
memikirkan lebih dalam, ternyata hal yang dapat saya pelajari adalah bahwa
pembelajaran (baik dikelas ataupun les privat) tidak berarti harus terpaku
dengan buku paket dan LKS. Pembelajaran haruslah memenuhi kebutuhan siswa, baik
pembelajaran tersebut akan terdapat di ujian atau tidak. Yang penting rasa
ingin tahu siswa terjawab, tapi tentu saja harus diimbangi dengan materi-materi
yang wajib ia pelajari sesuai dengan pembelajaran guru di kelas.
Pengalaman
mengajar saya berikutnya adalah saat saya mencoba bergabung dengan sebuah lembaga
Les Privat. Pada awalnya saya hanya berniat menggantikan teman saya mengajar
karena ia berhalangan hadir, namun untuk menggantikannya saya harus tergabung
dalam lembaga tersebut. Setelah proses administrasi selesai, saya menuju rumah
murid baru saya, sebuah kawasan yang cukup berkelas. Ternyata ia bersekolah di
salah satu sekolah internasional, sehingga pembelajaran matematika menggunakan
Bahasa Inggris. Rasa syukur terucap dalah hati karena saya mengenyam pendidikan
di Sampoerna School of Education, sehingga pembelajaran matematika dalam Bahasa
Inggris tidak menjadikan hambatan saya untuk melanjutkan pembelajaran.
Pada awalnya,
si anak cuek terhadap saya, seakan tidak mengharapkan kedatangan saya. Lalu ia
melanjutkan tugas Geografi, setelah saya periksa ternyata hasilnya lumayan
baik, pemahamannya dalam matapelajaran tersebut baik-baik saja. Ia dipaksa
belajar matematika oleh kakanya, akhirnya ia membuka buku paketnya dan
menunjukkan materi terkahir yang ia dapatkan di kelas. Lalu saya tanyakan mengenai
tugas matematika yang ia dapatkan di sekolah, ternyata tidak ada. Lalu akhirnya
saya putuskan untuk mereview materi-materi yang ada.
Setelah
review dan latihan selama kurang lebih tiga puluh menit, ia terlihat bosan.
Saya coba tanyakan bagaimana sistem belajar yang ia lakukan dengan teman saya,
ternyata ia menyukai belajar matematika sambil bermain. Saya berfikir sejenak,
bagaimana caranya belajar tentang Diagram Venn sambil bermain, tiba-tiba saya
teringat akan sebuah software yang digunakan dalam perkuliahan saya di
salah satu matakuliah. Software tersebut bernama National Library
Virtual Manipulatives (NLVM), di dalamnya terdapat salah satu bagian yang
dapat berfungsi untuk belajar Diagram Venn. Akhirnya saya mengajak si anak
untuk belajar bersama dengan menggunakan software tersebut.
Dari raut
wajah yang ia pancarkan, saya optimis bahwa si anak tertarik untuk belajar
matematika menggunakan offline-game NLVM. Dengan demikian hal
yang saya pelajari dari mengajar privat ini adalah bagaimana berfikir kreatif
dalam mengajarkan matematika kepada murid. Tidak hanya dengan metode ceramah
dan drilling soal saja, dengan offline-game ternyata pembelajaran
dapat tetap terlaksana. Faktor keberuntungan dengan memiliki NLVM
jelas terlihat dalam situasi diatas, namun pembelajaran lain yang dapat saya
ambil adalah bagaimana menciptakan atau menyediakan media pembelajaran untuk
melakukan pengajaran, sehingga bagaimanapun kondisi saat kita akan mengajar,
kita akan tetap bisa mengakali pembelajaran tersebut agar berjalan dengan
lancar dan mencapai sasaran seperti yang kita inginkan.
Kisah lain
mengenai pengajaran yang saya alami adalah ketika mengikuti program khusus yang
disiapkan oleh pihak kampus untuk mahasiswa semenjak semester 1. Program
tersebut adalah School Experience Program (SEP), namun mulai sejak
semester 3, mahasiswa diwajibkan untuk mengajar. Dengan menjadi asisten guru,
maka mahasiswa diwajibkan mengajar di kelas dengan waktu minimal 2 x 20 menit.
Kewajiban mengajar 2 x 20 menit ini sesungguhnya sedikit berbeda dengan fakta
di lapangan (ruang kelas). Biasanya guru yang kita asistensikan memberikan
waktu mengajar full 2 x 45 menit sebagai pembelajaran kita. Namun keputusan
kembali berada di pihak mahasiswa, berani untuk mengambil kesempatan mengajar 2
x 45 menit atau hanya terpaku pada surat perintah untuk mengajar 2 x 20 menit.
Pengalaman
pertama mengajar di SEP saya adalah di Sekolah Menengah Atas Negeri di
Jakarta Timur yang termasuk sebagai kategori Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI). Dengan demikian, pengajaran matematika di ruang kelas
lebih banyak menggunakan Bahasa Inggris. Pengalaman mengajar saya kali ini
terasa seperti kolaborasi antara pengalaman mengajar saya saat SMA dengan
pengalaman mengajar saya saat bergabung di sebuah lembaga Les Privat. Saya
harus mengajar satu runag kelas dengan lebih dari 30 siswa, dan menggunakan
Bahasa Inggris, sehingga tantangan yang harus saya hadapi lebih sulit.
Sebagai calon
pendidik, saya harus dapat mengimplementasikan pengetahuan-pengetahuan yang
telah saya dapatkan di perkuliahan, seperti menyiapkan lesson plan, classroom
management, penentuan assessment, dan lain-lain. Dimulai dengan
penyiapan lesson plan dan assessment, saya harus terus
bekonsulasi dengan guru pamong yang saya asistensikan. Setelah kedua hal
tersebut saya lalui, kini tinggal real action yang harus saya lakukan
sesuai dengan rencana pembelajaran saya di lesson plan.
Pembelajaran
berjalan dengan cukup baik, namun permasalahan yang saya hadapi ternyata
pengorganisasian waktu yang kurang baik. Management waktu yang saya
miliki masih sangat kurang, sehingga ada beberapa kegiatan yang tidak sesuai
dengan lesson plan. Hal inilah yang menjadi concern saya untuk
kedepannya, bagaimana mengatur waktu di setip kegiatan agar tetap efektif dan
efisien, sehingga untuk melakuakan teaching experience berikutnya saya
dapat lebih baik dalam mengorganisasikan waktu yang tersedia.
Itulah
beberapa pengalaman saya dalam mengajar. Setelah melakukan banyak refleski dari
setiap pengajaran yang saya lakuakan, saya mendapatai bahwa disetiap
pengajaran, pasti ada suatu pembelajaran yang saya lakukan. Hal tersebut
membuat saya bertanya-tanya dalam hati, pantaskah saya menyebut diri saya
“mengajar”? Saya berkeyakinan bahwa “mengajar” adalah menyampaikan
materi-materi ajar dengan tujuan agar siswa belajar dengan baik. Sadar akan
segala kekurangan saya selama mengajar, sehingga saya memutuskan dalam hidup
saya untuk mengganti istilah “mengajar” dengan kata “belajar”. Sesungguhnya,
sebelum saya mengajar, hal pertama yang saya lakukan adalah belajar, yaitu
mempelajari kembali materi-materi yang akan saya sampaikan kepada siswa. Dengan
demikian mengajar adalah proses belajar itu sendiri, sehingga menurut saya cukup tepat ketika saya
menggati istilah “mengajar” menjadi “belajar”
Selain itu
saya juga memutuskan untuk mengganti istilah “murid” atau “siswa” dengan “teman
belajar” karena proses belajar yang saya lakukan saat mengajar ditemani oleh
teman-teman belajar (yang sebelumnya saya sebut sebagai murid). Kembali sadar
akan kekurangan yang saya miliki, terasa lebih tepat ketika dalam hidup saya,
saya mengganti kalimat “saya akan mengajar murid SD” menjadi “saya akan belajar
bersama teman belajar saya yang masih SD”. Dengan
demikian, saya bukan hanya mengajar, namun belajar. Saya tidak mengajar murid, namun saya belajar bersama teman
belajar.