About Me

My Photo
Ahmad Apriyanto
Graduate of Mathematics Education from Faculty of Education Universitas Siswa Bangsa Internasional (USBI), the transformation of Sampoerna School of Education (SSE) Jakarta.
View my complete profile

Calendar

Masehi HijriyahPerhitungan pada sistem konversi Masehi – Hijriah ini memungkinkan terjadi selisih H-1 atau H+1 dari tanggal seharusnya untuk tanggal Hijriyah

Monday, July 2, 2012

PROBLEM-SOLVING DALAM ILMU SOSIAL

Oleh: Ahmad Apriyanto
Mahasiswa Sampoerna School of Education (SSE) 2010

source (click here)
Apakah yang dimaksud dengan problem-solving? Bagaimana problem-solving diterapkan? Problem-solving biasanya sering dikaitkan dengan pembelajaran matematika. Pelajaran matematika yang dicap oleh masyarakat sebagai matapelajaran yang sulit karena tingkat kesulitan dalam berhitung, namun sering ditampik oleh para pendidik yang bergerak di bidang tersebut bahwa matematika tidak hanya berhubungan dengan hitung menghitung, namun juga mengenai logika berfikir, berimajinasi, dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Lalu, gambaran mengenai matematika yang hanya berhubungan dengan hitung menghitung dinilai bahwa itu hanya dapat mengasah ketajaman berhitung seseorang, yang pada akhirnya para ahli matematika mencari pemikiran baru yang menggambarkan bahwa matematika dapat menghasilkan pembelajar yang lebih dari pada hanya memilki ketajaman dalam berhitung, yaitu pemecahan masalah – problem-solving.

Kecendrungan untuk mengintegrasikan kurikulum antara satu matapelajaran dengan matapelajaran lain telah dimulai sejak Sekolah Dasar yang kita kenal dengan istilah “Tematik”. Dengan adanya metode pembelajaran tersebut, pelajaran matematika mulai dikenali banyak siswa sebagai matapelajaran yang memiliki banyak penerapan di kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, konsep dasar hitung menghitung yang terdapat dalam matematika dapat direalisasikan dalam permasalahan kehidupan sehari-hari yang disebut real-life problem, dimana problem-solving turut serta didalamnya. Keterbiasaan penerapan soal matematika dalam real-life problem menjadikan soal-soal yang real-life tersebut tidak lagi dikategorikan sebagai standard untuk problem-solving.

Dalam problem-solving di matematika, Rose dan Schuncke (1997) membedakan dua kategori soal-soal permasalahan matematika; routine problems dan nonroutine problems. Routine problems adalah permasalahan-permasalahan yang dapat dengan mudah untuk diselesaikan, dan sebaliknya nonroutine problems tidak mudah untuk diselesaikan. Dengan demikian mereka menyatakan bahwa standard soal-soal yang termasuk kategori nonroutine problems sebagai kategori soal-soal yang problem-solving.

Polya (1957) dalam Rose dan Schuncke (1997) menetapkan bahwa ada empat langkah dalam menyelesaikan kategori soal-soal yang problem-solving; membaca masalah, membuat rencana penyelesaian, melakukan rencana tersebut, dan refleksi atas hasil yang didapat. Namun Krulick dan Rudnick (1989) dalam Rose dan Schuncke (1997) menambahkan satu langkah diantara membaca maslah dan membuat rencana penyelesaian, yaitu mengekplorasi permasalahan tersebut. Makna yang saya tangkap dari langkah tambahan tersebut adalah saat kita mendapati sebuah masalah, kita tidak hanya mengerti bagaimana masalah tersebut terjadi, namun kita harus mengekspolari lebih dalam mengenai hal-hal yang mungkin berhubungan dan hal-hal yang mungkin tidak berhubungan dengan permasalahan tersebut, sehingga dalam penyusunan rencana penyelesaian, kita tidak hanya terpaku pada suatu jalan keluar yang kita yakini.

Selain problem-solving dalam matematika, Rose dan Schuncke (1997) juga menjelaskan problem-solving dalam ilmu sosial. Dalam pembelajaran ilmu sosial, mereka menyatakan dua metode yaitu “Exploration” (eksplorasi) dan “Inquiry” (penyelidikan). Tidak terdapat perbedaan yang mencolok pada kedua metode diatas, yang membedakan hanyalah prior knowledge siswa, jikalau siswa telah memiliki prior knowledge terhadap suatu topik pembahasan, maka siswa tersebut menggunakan metode “Exploration”, sedangkan jika ia memiliki sedikit saja prior knowledge dari topik tersebut, sehingga siswa dapat mengeluarkan sebuah hipotesis dan metode ini disebut dengan metode “Inquiry”.

Problem-solving matematika untuk ilmu sosial jarang sekali digunakan oleh para pendidik. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman bagaimana menggunakan konteks yang tepat sehingga para murid dapat lebih mudah dalam memahami pembelajaran. Howard (1999) menyatakan bahwa masih banyak sekali guru yang tidak memiliki kemampuan untuk mengajar dengan penggunaan tema yang konseptual. Mereka tidak diajarkan bagaimana menggunakan tema yang konseptual tersebut, tidak terbiasa, dan mereka juga tidak mempersiapkan hal-hal seperti itu. Kata kuncinya adalah "penggunaan", guru harus menunjukkan kepada siswa bagaiamana menggunakan tema-tema konseptual dalam pemecahan masalah.

Di Indonesia, faktor yang menyebabkan kurangnya pemahaman guru terhadap tema yang kontekstual terhadap ilmu sosial adalah karena sumber daya pengajar matematika untuk kelas sosial, kebanyakan adalah guru-guru yang tidak memiliki latar belakang Ilmu Sosial itu sendiri, melainkan dengan latar belakang Matematika Murni dan Pendidikan Matematika, sehingga para guru tidak terbiasa untuk mengaitkan materi pembelajaran terhadap konteks pembelajaran yang terdapat dalam ilmu-ilmu sosial.

Lebih lanjut lagi, Lubienski (2002) menjelaskan bahwa permasalahan yang kontekstual dan terbuka, sangat bijaksana untuk diterapkan di semua level, termasuk ilmu sosial. Ia menjelaskan bahwa dari pada memiliki siswa-siswi yang terbiasa dengan latihan soal yang komplikasi namun tak berarti, lebih baik memiliki siswa-siswi yang terbiasa untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan matematika yang menarik bagi mereka yaitu permasalahan yang sesuai dengan konteks mereka sebagai pembelajar ilmu sosial. Terlebih jika soal-soal kontekstual tersebut adalah permasalahan-permasalahan terbuka, sehingga soal-soal tersebut dapat mengaktifkan pemikiran kritikal siswa-siswi di kelas yang berbeda-beda, tak menghambat siswa dalam berfikir, namun dapat menghasilkan jawaban yang beragam.

Bagaimanakah tema yang konseptual yang dimaksud? Gutstein (2006) dalam Leonard (2010) menyatakan bahwa guru dapat menggunakan sensus data untuk megajar di sekolah menengah dalam "membaca dan menulis dunia" dengan matematika. Konten matematika oleh "The National Council of Teacher of Mathematics" (NCTM) mengenai bilangan, data dan statistik, dan aljabar sangat aplikatif bagi siswa untuk dapat menguasai materi bilangan yang sangat besar, interpretasi data dan statistik, dan mengaplikasikan konsep aljabar seperti menentukan garis populasi pertumbuhan suatu negara, dan lain sebagainya.

Dalam karirnya sebagai pendidik, Leonard telah menerapkan berbagai konseptual aktifitas dalam memperkaya pembelajaran matematika selama lebih dari satu dekade. Contohnya adalah pada tahun 1997, sembilan puluh lima siswa Leonard di Maryland telah berpartisipasi dalam serangkaian kegiatan yang dinamai "Mathematics in Life Contexts". Saat ini, satu dekade baru sedang kita jalani. Bagi para pendidik matematika ilmu sosial di Amerika, mereka memiliki suatu kesempatan yang sangat tepat dalam dapat memanfaatkan sensus untuk negara Amerika pada saat masa lalu dan saat ini. Hal tersebut dikarenakan terdapat perubahan yang cukup signifikan sejak 1997 karena adanya krisi ekonomi dan kepesatan teknologi hingga saat ini.

Peranan dari sebuah kegagalan dalam belajar dan problem-solving tidak diragukan lagi dengan tidak sengaja cukup memaksa. Sebuah bukti dalam penelitian tentang pembelajaran “impasse-driven” (VanLehn dkk. (2003) dalam Kapur (2009)) dalam melatih problem-solving membuktikan bahwa terdapat peranan dari kegagalan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang sukses seperti mempelajari sebuah prinsip (misal, aturan Sinus) dihubungkan dengan suatu keadaan ketika para siswa mendapati jalan buntu saat diberikan problem-solving. Sebaliknya, ketika para siswa tidak menemui jalan buntu, pembelajaran dinyatakan gagal.

Hal tersebut kembali lagi kepada soal-soal yang kita berikan kepada siswa. Biasanya soal-soal routine problems yang telah saya jelaskan di awal tadi adalah soal-soal latihan yang jawabannya dapat dengan mudah untuk didapatkan karena soal-soal tersebut biasanya adalah variasi soal-soal yang telah dicontohkan di buku-buku sumber seperti buku paket dan buku LKS, sehingga standard soal-soal routine problems bukanlah termasuk kategori problem-solving. Namun, hal ini tidak berarti bahwa dengan tujuan membuat siswa mendapati jalan buntu, maka guru membuat soal-soal yang tidak kontekstual, sehingga para siswa tidak tertarik dan kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal tersebut.

Demikianlah beberapa pembahasan mengenai problem-solving dalam pembelajaran di kelas ilmu sosial. Kegagalan pembelajaran dengan problem-solving di kelas sosial tidak hanya disebabkan faktor siswa yang kurang tertarik dengan matematika, namun latar belakang dan kemamupan guru dalam menggunakan tema yang konseptual, juga turut andil di dalamnya. Pembelajaran yang sukses adlah ketika para murid menemui jalan buntu dalam menyelesaikan problem-solving, namun caranya bukan dengan menyajikan soal-soal problem-solving dengan konsep yang tidak dimiliki siswa, tapi dengan pemilihan soal yang memiliki standard lebih tinggi dari soal-soal latihan routine problems. Dengan menyajikan problem-solving yang kontekstual dengan pembelajaran di kelas sosial, semoga siswa akal lebih tertarik untuk berusaha menyelesaikan dan dapat mengasah logika berfikirnya agar lebih baik lagi. 


Sumber-sumber:
Howard, Judith B. (1999). Using a social studies theme to conceptualize a problem. The Social Studies, 171-176. Washington DC., Amerika: Taylor & Francis Inc.

Kapur, M. (2009). Productive Failure in Mathematical problem-solving. Singapura: Springer. 

Leonard, Jackqueline. (2010)Using U.S. Census Data to Teach Mathematics for Social Justice. Middle School Journal, 38-44. Columbus, Amerika: National Middle School Association.

Lubienski, Sarah T. (2002). GOOD INTENTIONS WERE NOT ENOUGH: Lower SES Students' Struggles to Learn Mathematics Through Problem-solving. Amerika: NCTM.

Rose, Terry D., Schuncke, George M. (1997). Problem-solving: The link between social studies and mathematics. The Clearing House, 137-140. Washington DC., Amerika: Taylor & Francis Inc.

Popular Posts